Catatan Perjalanan PML | 40 Hari Bersama TIM 2 KPH

by - Desember 06, 2022


Sudah satu minggu aku berada di sini tepatnya di Wisma Atlet Jakabaring. Kami diberi nama spesial yaitu peneliti muda. Tidak hanya aku, tetapi ada 38 peserta lainnya yang bergabung merasakan suasana di tempat yang sama. Malam itu tepatnya sehari sebelum keberangkatan menuju lokasi pengambilan data, kami dikumpulkan terlebih dahulu. Guna pembekalan dan persiapan dengan harapan kedepannya kegiatan kami bisa berjalan dengan lancar.


Building A, Wisma Atlet Jakabaring (September 2022)

Persiapan Keberangkatan

Pagi itu tepatnya pukul lima, aku dibangunkan oleh temanku untuk menunaikan solat subuh. Hari itu udaranya cukup dingin. Padahal AC sudah kami naikkan suhunya tapi tetap membuatku enggan beralih dari tempat tidur. Belum lagi malam tadi kami begadang hingga pukul satu malam guna menyiapkan segala keperluan tim untuk keberangkatan menuju desa penelitian esok hari.

my roomatte ah rindu keberisikan kalian :')

Pukul tujuh pagi usai sarapan dan sebagainya, kami menunggu waktu keberangkatan. Sebetulnya agak ngaret dan selama waktu menunggu kami habiskan untuk foto-foto canciyyy. Aku tak mau melewatkan momen ini, kapan lagi bisa mengabadikan momen dengan bahagia di tempat yang belum tentu bisa nginep ke sini untuk kedua kalinya kan ? wkwk. Apalagi sebelum ke desa yang hmmm sepertinya agak tricky (kata Mba Ni'ma di sesi kelas daring kami)...

Kami dibagi menjadi dua tim, yaitu tim KPH dan tim KHG. Kebetulan aku mendapatkan bagian di tim KPH. Kedua tim tersebut diberi nama sesuai dengan bentang lahan di wilayahnya masing-masing. KPH sendiri merupakan akronim dari Kesatuan Pengelolaan Hutan yang terletak di Kabupaten Musi Banyuasin. Sedangkan KHG adalah Kesatuan Hidrologis Gambut yang terletak di Kabupaten Banyuasin. 

Perjalanan menuju KPH memakan waktu kurang lebih selama sembilan jam melalui transportasi darat. Cape banget ga tuh, tapi ini yang membuatku senang karena aku pribadi punya hobi travelling jadi bahagia banget pas kebagian ngambil data lapangan di Musi Banyuasin. Aku dan 18 rekan satu timku berada di mobil berbeda yang masing-masing berisi tiga orang. Aku satu mobil dengan Ilham dan Aji, pertama kali satu mobil dengan mereka sempat canggung karena kami juga baru saja kenal selama satu minggu jadi interaksi berbicara sangat kurang hanya ketika berada di kelas peneliti itu pun secukupnya saja. Ternyata setelah berjam-jam di mobil, kami mulai akrab meski sempat bingung mau ngobrol apa lagi, alhasil lebih banyak tidur haha.

Btw, ini juga kali pertama aku menginjakkan kaki di Kabupaten Musi Banyuasin, Kecamatan Bayung Lencir. Alih-alih banyak tahu, aku juga baru tahu bahwa lokasi pertama yang akan kami kunjungi nanti merupakan salah satu kecamatan yang memiliki desa dengan jarak antar desa dan dusun itu cukup jauh bahkan sudah seperti jarak antar kabupaten lho!

Desa Pertama | Keakraban yang Bermula~

Desa Muara Medak (Dok : yang pasti bukan punyaku)

Setelah 9 jam perjalanan kami tempuh dengan mobil, akhirnya kami pun tiba di desa pertama yang ada di Kecamatan Bayung Lencir. Desa dengan luas 655 km2 ini merupakan desa terluas di Kecamatan Bayung Lencir. Jadi, ga heran kalau jarak antar dusun satu ke dusun lainnya itu membutuhkan waktu hingga satu jam lebih. Sebelum memasuki desa yang lengkap kehidupan masyarakatnya kita akan melewati portal milik perusahaan yang mana desa ini terletak di sekitar kawasan perusahaan perkebunan yang terbesar di muba. Bisa dibayangkan ga, lahan yang dipenuhi perkebunan sawit itu ternyata ada sebuah kehidupan di dalamnya. Aku malah membayangkan, gimana kerennya bapak kurir mengantarkan paket ke sini. Ya hari gini lho ga pernah belanja online, ga mungkin kan ? Apalagi masyarakat di sini sepertinya sudah sangat akrab dengan teknologi terlihat dari mereka yang memiliki ponsel pintar setiap berjumpa.

Hari itu sudah sangat gelap, bahkan langit pun menyuguhkan bintang yang gemerlap di atas sana. Mobil kami tiba-tiba mendadak berhenti. Ketika dilihat di depan sana ada sebuah mobil pick up hitam yang terjerembab di dalam lobang besar dan berlumpur. Alhasil kami berhenti sejenak dan keluar dari mobil, Kami pun bergotong royong menyelesaikan mobil yang terjebak tersebut. Satu persatu hingga akhirnya berhasil melewati jalanan tersebut.

Gotong royong mengeluarkan mobil dari lubang lumpur

Kami tiba di penginapan dan disambut baik oleh pemilik rumah. Mereka menerima kami dengan hangat meskipun baru pertama kali bertemu, aku cukup nyaman berada di sini. Pertama kali mendengar warga asli sini berbicara denganku, agak asing juga mendengarnya. Karena logat yang mereka gunakan belum pernah aku kenali selama hidup di sumatera selatan. Setelah aku tanya dengan rekanku yang cukup paham dengan desa ini, barulah aku tahu bila di desa ini terdapat warga lokal yang dikenal dengan suku medak. Perpaduan bahasa melayu tetapi bukan yang familiar di telingaku, sehingga sedikit aneh ketika mendengarnya. Pada malam keduaku di sini, aku merasakan hal-hal yang sedikit aneh. Terutama ketika setengah tidur. Pintu yang berhadapan langsung di sebelahku tidur sering terbuka tiba-tiba dan aku selalu kaget karenanya. Ketika aku bangun, muncul sosok ibu paruh baya yang merupakan pemilik rumah. Tatapannya mengarah ke semua tempat termasuk seringkali menatapku tajam T.T, entah apa maksudnya, hanya saja aku merasa diintimidasi. Hal itu terjadi sampai di malam terakhir kami di sana, akhirnya aku beranikan bertanya pada seniorku yang cukup paham mengenai warga di sini terutama pemilik rumah. Ternyata, ibu itu memang suka sekali tidur larut. Memang ada hal-hal yang tidak perlu kami ketahui karena sedikit mistis dan jujur saja ketika kami bercerita bulu kudukku berdiri. Serem, cuyyy!!! Why bu, whyyy??? Ada apa denganku eh denganmu ??? :')

Hamdalah kejadian itu hanya berlangsung di malam hari. Pagi hari yang cerah aku pun berjalan-jalan di pekarangan rumah tempat kami menginap dan menatap sungai yang tepat menghadap rumah, suasana pagi hari yang indah dan niatnya aku ingin menghirup udara pagi itu dengan lega. Alangkah terkejutnya ketika aku menatap sungai di depanku, semalam kami berberes sebelum tidur dan mengumpulkan sampah-sampah jajanan kami di mobil lalu kami masukkan ke dalam trash bag. 

Suasana pagi hari di tepian sungai di Desa Muara Medak

Tapi kok, tunggu dulu...
Aku perhatikan lagi sampah yang mengapung di sungai tersebut. Ternyataaaa.... 
Memang benar itu sampah kami. Jujur shock karena kami berusaha mengumpulkan supaya tidak berserakan malah dibuang di sungai :').... yang pasti ketika aku tanya pelakunya, seorang temanku melihatnya bahwa yang membuang sampah itu bukan anak-anak timku melainkan si mpunya rumah, tidaaaaaaaaaak!

Lima hari berada di Desa Medak, aku mulai familiar dengan suasana dan juga orang-orang yang satu tim denganku. Persis seperti suasana KKN bedanya di sini kami itu kerja dan tentunya begadang. Aku yang merupakan manusia anti begadang mulai beradaptasi dengan kondisi ini, sudah terbiasa dan tidak ngeluh lagi karena tidur malam di atas jam 11.

Ada cerita konyol ketika pertama kali aku ingin sekali minum es kopi. Tapi, ya namanya di desa sudah jelas tidak ada kafe di sana. Alhasil muncul ide ketika melewati warung yang menjajakan dagangannya di depan rumah. Warung itu kecil dan amat sederhana dibangun dari kayu. Terdapat satu buah galon berisi air bersih dan juga jejeran kemasan minuman instan digantung pada tali rapia. 

"Bu, saya mau beli es kopi." (btw ini menggunakan bahasa Palembang ya)
"Es kopi?" katanya sembari berhenti melakukan aktivitasnya saat itu dan menatapku

Raut mukanya tampak heran, mungkin terdengar asing karena di sini jarang kopi dikasih es batu. Temanku yang saat itu disampingku hanya geleng-geleng kepala dan ketawa kecil

"Iya bu, jadi kopinya dikasih es."
"Kira-kira ada cup plastik ga bu? Kalau ada pake cup aja ya." lanjutku
"Wah kalau itu ga ada dek. Pake plastik ini saja ya?" jawabnya sembari mnunjukkan plastik bening ukuran setengah kilo.

Aku pun mengangguk, yaaa meski agak aneh. Aku pun memberitahu tutorial membuatnya. Gusti... antara ga enak karena seperti menggurui pedagang kecil :') tapi juga ga mungkin aku batalkan karena sudah terlanjur mau beli :D. Ibunya juga mau lho dan ga nolak makanya aku sedikit senang :D.

Setelah paham maksudku, ga perlu menunggu lama hanya beberapa menit es kopi yang dibungkus dengan plastik kiloan pun jadi. Aku menyebutnya es kopi cekik :D

Es kopi cekik Desa Medak, 
Menyegarkan~

Esok harinya, setelah FGD di kantor desa aku melewati rumah tempat warung kecil yang aku hampiri kemarin. Namun, karena kondisiku saat itu sedang sakit perut maka aku tidak membeli es kopi dulu. Kebetulan juga warung tersebut tidak ada yang jaga. Tanpa sengaja, mataku tertuju pada cup plastik yang tersusun tepat di warung dimana kami membeli es kopi cekik tersebut. Hatiku menghangat, semoga laris ya bu dagangannya, aku pamit dulu...

Desa Kedua | Creepy dan Penuh Kejutan

Desa Mangsang  (Dok : yang pasti bukan punyaku)

Setiap tempat memiliki cerita sehingga di lain tempat pun punya kisah tersendiri, meski samar-samar terdengar ada yang mirip. Percayalah, objek dan subjeknya pun juga berbeda. Perjalanan menuju desa kedua ini menggunakan jalur transportasi air, yaitu speedboat dengan waktu tempuh kurang lebih 30 menit. Kesan pertama yang aku dapatkan di desa ini sedikit suram dan tidak ramah sama sekali. Entah apa hanya di dusun tempat kami pijak sekarang atau semua dusun juga seperti ini... Oh ya ada lagi yang membuatku lebih kaget yaitu ketika melihat masjid tetapi lokasinya di depan tempat pembuangan sampah. Miris banget, ya Allah :')...

Sebelum mengunjungi desa biasanya kami diberikan "kisi-kisi" kondisi atau gambaran lokasi. Info yang kami dapat sebelum tiba ke sini adalah desa ini sangat terkenal dengan tingkat kriminalnya yang cukup tinggi dan napza. Makanya suasananya betul-betul berbeda dengan sebelumnya. Kami juga diingatkan untuk selalu di dalam rumah ketika malam tiba, sebagai bentuk keamanan.

Kami tinggal di rumah kepala desa, rumahnya luas dan cukup mewah namun kurang dirawat. Bagian depan terasnya terdapat etalase dan lemari dengan pajangan botol minyak wangi berbagai aroma. Nampaknya dulu ini pernah dibuka toko minyak wangi tapi tidak diurus dengan baik. Lalu ketika masuk ke dalam rumah terdapat kursi-kursi besar yang kalau aku duduk, aku seperti liliput. Ternyata kades ini memiliki usaha katering dan sewa tenda beserta perintilan lain untuk pernikahan. Yang menjadi perhatianku lagi, ada sebuah lemari besar yang terbuat dari kaca dan berjejer botol-botol miras berbagai merk. Hihi, pantas saja desanya dikenal dengan tingkat kerawanan kriminal dan napza, ga heran sih~

Ada cerita unik, ketika rekan laki-lakiku pergi keluar untuk jalan-jalan melihat suasana di desa ini. Mungkin karena perawakan rekanku itu seperti preman dan cara bicaranya yang agak ngegas, tanpa tedeng aling-aling ia ditawari sebungkus plastik yang berisi bubuk seperti garam. Alhasil rekanku menolaknya dengan halus dan segera kembali ke rumah tempat kami menginap. Terus ada lagi kejadian sendal milik beberapa temanku yang digondol anjing liar, ada yang tinggal sebelah dan ada juga bekas gigitan 😅

Esok hari, kami menuju kantor desa untuk melakukan FGD. Karena suatu sebab, kami pun pindah menuju dusun lain yang jaraknya 30 menit dari kantor desa. Selama dua hari kami pulang menjelang bahkan setelah magrib. Gelap dan juga berdebu, apalagi di desa ini terdapat PT yang cukup terkenal di Indonesia. Jadi hilir mudik kami selalu berjumpa truk-truk besar yang mengangkut tandan sawit. Kami sempat tersesat ketika menuju rumah menginap, karena lupa jalan. Maluuuu banget., sok-sokan tahu jalan. Eh malah nyasar ke jalan buntu :'). Itulah kesan pertama setelah melakukan perjalanan di salah satu dusun di Desa Mangsang.

Uniknya, setiap dusun di desa ini memiliki ciri khas tersendiri. Aku merasa "hidup" layaknya manusia pada umumnya ketika berada di dusun tempat kami FGD. Bukan berarti mati, tapi memang sepertinya warga di sekitar tempat kami menginap itu kurang bersosialisasi, mungkinkah (?) ga jelas lah pokoknya. Suasana suram dan mencekam selalu aku rasakan. Makanya, kami ingin segera pindah dari sini. Meski begitu, aku sayang dengan rekan-rekanku ini, kompak banget!!! Sama sekali gamau pisah karena sudah nyaman bareng-bareng xixixi...
Berdoa sebelum memulai pengambilan data lapangan di hari pertama 

Desa Ketiga | Ramahnya Warga yang Tiada Akhir

Jalur Mulya (anw, ini foto yg bareng2 lengkap blm ketemu)
Ini pas makan malam pake kepiting pertama kali wkkw

Berhubung sedang berlangsungnya pemilihan kepala desa di wilayah KPH (Muba), kami pun untuk sementara dialihkan menuju wilayah KHG yaitu Banyuasin, tepatnya di Desa Jalur Mulya. Ah, rasanyaaaaa senang sekali ketika tiba di desa ini. Betul-betul berbeda suasananya dengan yang ada di desa sebelumnya :')...
Rasanya seperti keluar dari dalam gua, kiwkiwkiw... lebay banget deh~

Aku merasa hidup dan bisa dengan lapang untuk bersosialisasi dengan warga sekitar ketika di sini. Para masyarakatnya yang ramah dan selama di sini kami pertama kalinya melakukan jalan sore hingga menjelang magrib hahaha. Iya setelah FGD usai, aku dan rekan peneliti satu kelompok menuju tambak udang yang ada di sini.  Coba deh kalau di desa sebelumnya, kami sudah ketar ketir duluan begitu melihat jam menunjukkan pukul enam sore. Selain itu desa yang ketiga ini merupakan tempat bersejarah untukku dan mas doi #eh... yang membuat kenangan indah asekkk... Kali pertama aku berbicara dengannya  yang mana di tempat ini adalah awal kami berinteraksi secara langsung. Iya, bertemu dengan paus (hai paus, kalau baca ini jangan lupa like dan komen haha)...

Nah di desa ketiga ini lokasi dari satu desa ke desa lainnya hanya memakan waktu selama 30 menit, bisa menggunakan jalur air dan darat. Malam hari sebelum perpisahan dengan pemilik rumah di desa Jalur Mulya, suguhan makan malam yang amat spesial yaitu kepiting. Sayangnya, aku hanya bisa melihat karena tak bisa memakannya... 

Berhubung musim hujan dan jalanan jelek, kami pindah menuju desa selanjutnya menggunakan kapal kayu yang berukuran besar yang kek gini :


Ketika kapal mulai berjalan, rasanya seperti menyusuri hutan. Belum lagi kami diguyur hujan rintik-rintik, aduhaiiii sangat syahdu~

Karena pengalaman pertama naik ini, aku pun memilih untuk duduk di bagian atapnya seru bangetttttt!!!

taken by : Dani

taken by Dani pake hp mba rida

Setelah tiba di desa selanjutnya kami segera membereskan peralatan yang kami miliki dan beristirahat sejenak.

Desa Keempat | Ramahnya Warga yang Tiada Akhir (2) Makan Lanjut Aja, ygy!

Timbul Jaya dari atas jembatan

Desa keempat merupakan salah satu desa yang membuat timbanganku naik :)... Ya begimane cerite, menurutku banyak kali kami disuguhi makanan dan tak pernah merasakan lapar :D. Bukan berarti di desa sebelumnya kami kelaparan, tapi di sini tak henti-hentinya pemilik rumah menyuguhi kami makanan ringan setiap mengerjakan pekerjaan. Ada aja bahan untuk ngganyemm mulu😂. Satu hal yang jadi favorit teman-teman itu ketika kami dua hari berturut-turut disuguhi kepiting :D, sayangnya aku tidak menyantapnya karena aku alergi terhadap hewan laut yang satu itu. Sehingga aku pun hanya melihat mereka menikmati dan aku makan yang lain.

Alhamdulillah selama di desa ini pengambilan data lapangan berjalan sangat lancar, bahkan warganya sangat antusias dengan kedatangan kami di sini. Sehingga ketika kami akan pindah menuju desa selanjutnya, tampak raut sedih dari para pemilik rumah yang kami tempati selama di sini. Aku ikut sedih, yaaaa karena sudah akrab terutama anak kecil pemilik rumah yang sering main ketika kami bekerja xixixi apalagi nyantolnya sama Bung Theo mulu ahaha...

Timbul Jaya ( (Dok : yang pasti bukan punyaku)

Makan malam di rumah Mas Lihul. Terima kasih banyak Mas Lihul kami bahagia dan kenyang 😁(Dok : Mba Shinta)

Always teringat dengan kenangan yang ada di sana... Terutama perihal termos pecah T_T :')


Desa Kelima | Mandi Ga Mandi Ujung-ujungnya Mandi 2x Sehari :P

Lanjut lagi ke desa kelima. Desa yang dikenal dengan slogannya yaitu :

Dimakan mabuk, dibuang sayang
Selamat datang di Kepayang.

Tampak aktivitas perempuan sedang menggunakan air sungai untuk kegiatan rumah tangga yaitu mencuci

Desa satu ini merupakan desa yang terletak di pinggir sungai Lalan. Rumah penduduknya rata-rata berupa rumah panggung yang berada di atas sungai sehingga ketika air pasang tampak seperti rumah apung. Kami tiba di sini dengan menggunakan speedboat 3-4 jam dari Kota Palembang. Perjalanan jalur air pertama yang terlama bagiku. Bosan sebosan-bosannya karena tidak bisa ngapa-ngapain selain tidur di speeboat yang dihantam ombak sungai.

Selama di perjalanan, aku membayangkan bagaimana msayarakat di sini bertahan hidup untuk memenuhi kebutuhannya. Tapi jangan salah kawan, kebanyakan yang tinggal di desa ini rata-rata orang-orang berada. Tampaknya saja rumah mereka di pinggir sungai itu kumuh, tetapi kalau dilihat dari barang yang mereka miliki, kebanyakan sangat berharga.

Satu hal yang membuat miris adalah kondisi sungai di desa ini. Sungai Lalan, merupakan sungai yang saat ini sudah dikatakan tidak layak konsumsi. Pertama kali sampai, kami tak pernah menjumpai orang yang sedang memancing ikan. Karena penasaran, kami pun bertanya dengan salah satu warga setempat bahwa sudah lama mereka tidak pernah memancing ikan lagi dikarenakan sudah tidak ada ikan yang hidup di sana. Para peneliti kesehatan dari provinsi pernah berkunjung dan ketika mengecek air sungainya, sudah tidak bisa dikonsumsi. Meskipun demikian, warga masih menggunakan air sungai untuk mandi, cuci dan kakus. Kebayang ga mandi pake air sungai yang susah dijelaskan kandungannya seperti apa. Syedihhhh!!!

Selama di desa tersebut, selama itu pula aku sakit perut :D...
Iya... perutku mules tiap hari gatau karena apa. Belum lagi ketika ke kakus, kagetnya luar biasa. Yaaaa kakusnya tidak seperti kakus pada umumnya karena tempatnya langsung di atas permukaan sungai. 

Satu hal lagi yang menurutku lucu, waktu itu aku dan seorang temanku bertanya mengenai kotak sampah. Kebetulan tempat kami tinggal itu berada tepat di pinggiran sungai Lalan. 

"Bu, kotak sampah dimano yo?"
"Langsung campakke be dek ke sungai. Dak apo, la biaso."
Aku dan temanku saling tatap. Ya rabb, berat rasanya tangan ini membuang sampah ke sungai :'). Kami pun berinisiatif untuk mengambil kotak kardus air mineral dan meletakannya ke dapur.

"Ah ibu, sayang nian wkwkkw. Dak tega buk, kami taro ini disini be ye buk buat sampah."

Akhirnya semenjak kejadian itu, si Ibu juga sungkan dan merasa ga enakan kalau buang sampah langsung ketika ada kami di sana :D. Ia pun menyediakan kardus dan plastik sampah biar ga keliatan banget. Walaupun ujung-ujungnya ketika pagi hari, sampah hari kemarin dalam bentuk yang sama mengapung di sungai lagi.

Banyak yang bilang sudah tercemar, tetapi keindahannya saat senja hari membuatnya memesona

Berhubung dapur tempat kami berada tepat di pinggir sungai, maka setiap waktu kami selalu disuguhi pemandangan sungai, hal yang bagiku keren adalah ketika di sore hari. Senja akan terlihat tampak menarik dan indah karena tak perlu bersusah payah mencari spot menikmati senja, cukup ke dapur dan duduk manis ketika menjelang sore hari, wah langitnya indah sekali...
Sayangnya, dibalik keindahan tersebut sebuah hal yang miris pun hadir. Apalagi kalau matahari terbit, berbagai sampah mengapung di permukaan sungai dan juga aroma tak sedap.

Desa Kepayang  (Dok : Kak Yoga)

Desa Keenam | Last Journey for PML :')

pagi-pagi dah pada jajan aja di warung :D

Huaaaaa desa terakhir dan artinya ini merupakan perjalanan yang terakhir juga bagi peneliti muda lanskap. Sedihhhh banget....

Kami menuju desa terakhir ini menggunakan speedboat dari desa Kepayang. Jarak tempuhnya sekitar  satu jam dan dilanjutkan dengan naik mobil selama satu jam juga. Total dua jam perjalanan.

Nah, kami tinggal di sebuah penginapan milik Pak Suyuti, beliau merupakan tokoh masyarakat yang memiliki rekam jejak kehidupan yang keren. Beliau merupakan salah satu masayrakat peduli api yang juga membantu dalam pembangunan Desa Muara Merang, terutama di Dusun Pancuran. 
Di sini karena berada di wilayah perusahaan hutan tanaman industri, maka tak heran bila banyak sekali karyawan laki-laki dibanding perempuan.

Dusun Pancuran ternyata tidak banyak memiliki masalah sumber daya air. Selama di sini juga kami merasa puas dengan kondisi airnya, meskipun harus ke masjid terlebih dahulu, Sebenarnya ada kamar mandi di dekat penginapan, namun seperti bisalah kami yang perempuan paling ga bisa jauh-jauh dari aktivitas nyuci jadi yaaa nyari lokasi yang luas buat mencuci :D

satu-satunya masjid yang cukup besar di Dusun Pancuran

Oh ya, Desa Merang hampir sama seperti Desa Mangsang dan Medak. Jarak tiap dusun juga jauh dan juga dikelilingi dengan hutan-hutan milik perusahaan. Maka tak heran bila warga di sini kebanyakan adalah karyawan perusahaan.

Dari 6 desa yang kami kunjungi masing-masing kami menetap kurang lebih selama 5-7 hari, maka setiap desa memilik kenangan yang unik dan sulit dilupakan. Tapi satu kesamaaannya, adalah dari kamar mandi :D...
Ga pernah dapat kamar mandi yang normal kecuali di desa pertama, makanya ketika di desa pertama kami betul-betul dimanjakan. Eh pas pindah ke desa kedua hingga terakhir, ada aja kamar mandi yang ga ada pintunya, kamar mandi yang kudu jalan kaki (udah mandi eh malah keringetan lagi), kakus yang ada di atas sungai, kamar mandi yang luasnya sampai bisa main bola tapi airnya astaghfirullah hingga kamar mandi yang ada pajangan vulgar di dalamnya ;') agak shock...

Selain daripada itu, aku mendapat banyak sekali pelajaran juga pengalaman. Terutama hal-hal yang bisa disyukuri saat ini. Melihat kondisi yang aku ceritakan di atas, tentu bagi kalian yang memiliki sumber daya air yang bersih dan juga tempat yang bukan di pelosok desa akan merasa beruntung. Karena mereka pun juga memiliki daya juangnya sendiri hingga bisa bertahan hidup di sana dengan baik. Meskipun kendala utamanya terlihat jelas dari sumber air yang mereka gunakan, tapi tidak bisa sepenuhnya menyalahkan karena kurangnya edukasi terkait kebersihan dan lingkungan.

Desa Muara Merang  (Doc : yang pasti bukan punyaku)

Pengalaman lainnya yaa bisa berjumpa dengan rekan-rekan IPML terutama tim 2 KPH yang super duper wow. Ga nyangka bisa sekompak itu dari awal di desa pertama hingga terakhir, meski ada drama-drama dikit semuanya teratasi (yaaa kalau ga ada drama, ga kerasaaaa!!!) Alhamdulillah bersyukur bisa satu tim dengan kalian. Makasih banyak sudah menjadi teman yang baik dan juga mengerti. Mohon maaf atas kesalahanku yang ada aja little things kalau ga rusak ya ilang :(.... tetapi dengan baik hati kalian bisa menutupinya 😓😂😗...

Itu dulu cerita di postingan kali ini... Kalau diceritakan dengan detail bisa pegel juga ni jari jemari mengetik wkwk. Biarlah sisanya aku simpan dalam foto dan dalam ingatan, kalau rindu yaa tinggal buka-buka dokumentasi :")...

Bonus foto2 setelah pulang dari desa :




See you on top, YGY!!!
Dunio galo, jangan lupo ibadah dan solat...

Sampai jumpa di postingan selanjutnya~

LUV.
ZF




You May Also Like

1 comments

  1. haiii, semoga bahagia dan segera bertemu dengan doi nya, salam I LOVE 200 KM!

    BalasHapus